Julukan “orang besar yang sudah tua” itu masuk akal.
Sama seperti umumnya 67 Bapak Bangsa Indonesia yang lain, pemikiran
Agus Salim keluar dari kepompong kepentingan pribadi. Mereka mendahului
zaman.
Begitu juga Agus Salim. Mereka meninggalkan jejak langkah, warisan nilai-nilai luhur cita-cita kemerdekaan.
The grand old man Haji Agus Salim adalah seorang ulama dan intelek,” kata Bung Karno tentang Haji Agus Salim (1884-1954).
Ketika rapat-rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia berlangsung,
Juni-Agustus 1945, mungkin Agus Salim anggota tertua. Rata-rata umur
para Bapak Bangsa adalah 30-45 tahun.
Soekarno berumur 39 tahun, Hatta 43 tahun, sedangkan Haji Agus Salim sudah 61 tahun. Nama Haji Agus Salim adalah nama besar.
Sementara posisi “mendahului zaman” itu bagi Agus Salim tidak selalu
mengenakkan. Sejarawan Taufik Abdullah pernah mencoba membuka tabir Haji
Agus Salim sebagai aktor sejarah.
Ia merasakan kegetiran Agus Salim menjadi pemimpin yang berorientasi
pada pembaruan. Peran seseorang dalam ruang publik, seperti ditunjukkan
Agus Salim, menjadi lebih getir ketika dia tidak hanya terbatas mengisi
peran sosialnya, tetapi melampaui batas-batas kesejarahan.
“Salim menyelami apa artinya kegetiran itu. Ia menjalaninya dengan segala cerita lucu dan menarik,” tulis Taufik Abdullah.
Menurut Taufik, kumpulan cerita lucu dan menarik tentang tokoh the
grand old man ini membuka tabir apa yang terjadi dalam dirinya. Sosok
Haji Agus Salim menjadi ironis.
Ironi Salim adalah ironi yang dilahirkan situasi kolonial ketika
seseorang mempunyai harga diri yang tinggi. Bahkan juga ironi dari
keteguhan sikap tentang seorang pejuang yang ditolak.
Salim menyikapi ironi dalam komentar dan pernyataan yang lucu-lucu.
Ahmad Syafii Maarif mengingatkan lelucon kambing, salah satu anekdot
yang banyak diingat dan dikutip orang tentang Agus Salim.
“Embek, embek,” ejek hadirin ketika Agus Salim sebagai pemimpin Syarikat Islam bersama HOS Tjokroaminoto naik ke mimbar.
Ia disamakan dengan kambing.
“Saya harap kambing-kambing dikeluarkan dari ruangan,” kata Agus
Salim setelah menyapa hadirin dengan kalimat “saudara-saudara dan
kambing-kambing yang terhormat”.
Kini siapakah yang jadi kambing sesungguhnya? Keadaan telah berbalik.
Agus Salim memberi makna penolakan itu dengan sikap melucu, bagian dari
luapan kegetirannya.
Tepatlah mengangkat kembali pemikiran dan sosok Agus Salim di hari-hari kita merayakan kemerdekaan.
Sosoknya menjadi aktual justru di tengah bangsa Indonesia semakin
kehilangan sosok teladan dan sosok pemimpin, di tengah bangsa ini
mencari calon pemimpin nasionalnya lewat pemilihan umum presiden 20
September. Dua hal spontan muncul tentang tokoh Haji Agus Salim. Dialah
seorang politikus ulung dan seorang ulama besar.
Sebagai politikus, satu dari 68 Bapak Bangsa (founding fathers) itu
memiliki beberapa kelebihan. Dalam tubuhnya yang kecil, berjanggut putih
lebat, terhimpun berbagai kelebihan.
Tidak hanya politikus ulung, tetapi juga seorang wartawan, ahli sejarah, ahli bahasa, praktisi pendidikan, dan filosof.
Selain politikus ulung, Salim juga sosok politikus beretika dan berkarakter.
Menengok sejarah, ada yang membagi 68 Bapak Bangsa dalam empat kelompok, yakni Soekarno, Hatta, Soepomo, dan Mohamad Yamin.
Di antara empat kelompok itu tersebut nama Haji Agus Salim, yang
dituakan tidak karena umur tetapi juga karena pengalaman
internasionalnya, terutama dalam penguasaan bahasa-bahasa asing.
Karena kelebihan-kelebihan itu dia diminta menjadi salah seorang
anggota Panitia Sembilan yang berperan besar dalam perumusan Pembukaan
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang semula berjudul Piagam Jakarta.
Agus Salim merupakan satu dari para Bapak Bangsa yang semua
mewariskan tradisi intelektualisme dan moral nasionalisme ke anak negeri
ini.
Ya, dua kata sakti untuk jadi orang yang pantas diteladani; intelektualisme (beda dengan orang pintar) dan moralitas.
Rasanya keteladanan putra Koto Gadang ini begitu bermakna sekarang ini.